Islamisasi secara masif menembus jantung kerajaan tradisional pada abad ke-15 yang ditandai berdirinya Kerajaan Islam Demak. Mistisisme Islam di kerajaan tradisional menjadi perdebatan tersendiri. Rupanya di istana berkembang pula pemikiran Paku Buwana IV bahwa perlunya Islam mengayomi budaya Jawa. Pemikiran itu mengikuti pola Sultan Agung.



Gerakan Islam melawan hegemoni kolonial diawali Paku Buwana IX dan dilanjutkan PB X secara terstruktur dengan mendukung organisasi politik (1914), serta mendirikan madrasah (1905) dan sekolah (1914) Peluang itu terkait dengan terbitnya Undang-Undang Desentralisasi 1903. Madrasah Manhaal Ulum dan sekolah umum adalah peluang untuk memperkuat intelektualitas, menumbuhkan kesadaran identitas Islam dan kebangsaan. Intelekualitas dan kesadaran itu empowering struktur peluang politik.



Lenhaga untuk empowering masyarakat adalah rijksstudiefond yang memberi beasiswa kepada aristokrat hingga jenjang doktor Kemudian Bank Bondolomakso, pasar, jalan dan jembatan, Rumah Sakit Kadipolo, Rumah Wangkoeng buruh migran, Paheman Radya Pustaka, dan Kebon Rodjo.



Dukungan Paku Buwana X terhadap Sarekat Islam (SI) dan Boedi Oetomo (10) yang dikampanyekan melalui perjalanan incognito resonansa berlipat Tindakan itu secara simbolik mengindikasikan terjadi perubahan paradigma politik di Kasunanan, yakni dari perspektif tradisional menuju politik partisipasi massa. Tindakan Paka Buwana X secara simbolik melawan politik hemtemtuar yang melarang aktivitas politik praktis warga Hindia Belanda. Kebijakan itu tidak dilanjutkan PB XI dan PB XII.